Selasa, Desember 23, 2008

Pernikahan Batas

Nama lengkapnya Batas Parasiaan Sihombing. Dia lahir April 1979, sepertinya tanggal 30 April. Dia adalah lae-ku (saudara sepupu). Orangnya tidak tinggi, paling-paling 160 cm.
Tidak seperti orang Batak pada umumnya, dia bersuara pelan. Jadi dia tidak bisa marah.Dia juga bukanlah seorang yang tergolong pemberani, biasa-biasa saja. Malah bisa dikatakan agak penakut. Tapi ada satu langkah berani yang diambilnya.Dia menikah dengan seorang bukan boru Batak! Menikahnya pun bukan di Sumatra Utara, di hadapan orang tua. Dia menikahi putri Jawa yang lahir dan besar di Pontianak, Kalimantan Barat. Atas permintaan sang mertua pula, Batas bersedia melangsungkan pernikahan di Pontianak. Perberkatan dilaksanakan secara Katolik, menurut agama dan kepercayaan Rini, istrinya. Namanya juga pemberkatan, tentu saja keharuan terlihat dalam upacara sakral tersebut. Apalagi dia dan pasangannya, bersimpum di lutut orang tua pihak perempuan dan wali pihak laki-laki.
Batas yang kecil dan pendiam telah mengambil langkah besar dalam hidupnya, menikah. Inilah langkah signifikan lanjutan yang ditempuhnya, setelah memutuskan merantau ke Jakarta. Setelah bekerja selama sekitar setahun, dia masuk FISIP UI program Diploma jurusan APS (Administrasi Perkantoran dan Sekretaris).Setamat dari jenjang D3 tersebut, Batas bekerja di SD Dian Harapan, Tangerang. Dia tidak puas dengan gelar itu, maka dia mengambil program ekstensi di Universitas Mercu Buana. Dengan hanya memakan waktu 2 tahun, Batas berhasil menyelesaikan program itu untuk menyandang gelar S1. Gelar resminya adalah SE, Sarjana Ekonomi.
Seorang kerabat mengatakan, "Batas selalu berhasil meraih cita-citanya, selangkah demi selangkah."
Namanya memang Batas, tapi dunia akan lenyap tanpa BATAS.
Selamat menempuh hidup baru, lae. Semoga menjadi keluarga yang rukun, damai bahagia dan sejahtera.

Pernikahan Batas

Minggu, Desember 14, 2008

HIDUP CUMA SEKALI, KENAPA TIDAK MENIKAH DAN PUNYA ANAK-ANAK?

Sekali berarti
sudah itu mati


Hidup Cuma Sekali
Kita sering kali terjebak dalam paradoks. Orang kaya begitu menghargai nilai uang karena mereka dulu pernah merasakan kemiskinan. Orang sehat begitu menyadari pentingnya kesehatan karena pernah menderita dalam sakit penyakit. Karena itu, orang akan lebih memahami arti hidup bila dipertentangkan dengan kematian.
Petikan puisi Chairil Anwar tersebut di atas mewarnai hidup setiap orang. Sudah menjadi takdir bagi setiap insan untuk merasakan indahnya kematian, dan nikmatnya kehidupan. Jelasnya, mati sudah di tangan. Sudah menjadi hak milik pribadi. Tidak ada orang atau pihak yang mengganggu gugat. Dalam bahasa hukum sekarang, vonis mati tidak bisa diajukan banding, kasasi atau PK (Peninjauan Kembali). Presiden tidak mampu memberikan grasi atau abolisi. MK (Makhkamah Konstitusi) juga tidak berwenang untuk membahasanya apabila ada pihak yang mengajukan judicial review.
Yang menjadi pertanyaan adalah kapan matinya, di mana matinya, dan bagaimana matinya. Steven Covey mengajak kita untuk mempertimbangkan dengan seksama hal apa yang kira-kira keluar dari mulut para pelayat jenazah kita kelak. Tulisan apa yang kita kehendaki tertulis di batu nisan kita nantinya?
Sesungguhnya, baik hidup maupun mati adalah misteri. Itu menjadi rahasia ilahi. Tidak ada yang tahu dengan pasti. Dokter tidak tahu, rohaniwan tidak tahu, para peramal pun tidak tahu. Sehingga kita sangat maklum kalau tidak ada iklan di TV yang menayangkan REG MATI, dan kirim ke nomor XXXX.
Sebagian orang memandang kematian sebagai hukuman. Mereka adalah orang-orang yang merasa dirinya benar. Namanya juga perasaan, itu sangat subjektif. Mereka merasa benar karena hidupnya baik, atau setidaknya tidak ada kesalahannya yang fatal. Benar karena secara medis dan teknologi kedokteran merasa mampu menunda kematian dan bahkan menghindari kematian. Mereka yang secara sosial cukup terpandang dan diakui keberadaannya dalam masyarakat. Mereka tidak rela bila kedudukan itu hilang begitu saja.
Sebagian lagi orang memandang kematian sebagai anugerah yang harus disyukuri dan dinikmati. Kematian merupakan masa berakhirnya derita di dunia. Tidak ada lagi penyakit, hutang, rasa malu, kekhawatiran, dsb. Kematian merupakan jalan tol menuju terminal dalam pengadilan di akhirat kelak. Bagi orang beriman, kematian berarti terbukanya pintu kehidupan yang kekal. Tugasnya di dunia yang fana sudah selesai.
Pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) SD mengajarkan ada beberapa ciri makluk hidup, antara lain bernapas, bergerak, bertumbuh dan berkembang biak. Khusus untuk manusia sebagai mahluk yang paling mulia punya ciri tambahan yaitu pikiran, kehendak, perasaan dan imajinasi. Dengan modal ini, manusia mampu menciptakan karya-karya fenomenal, kebudayaan dan agama.
Dengan kata lain, hidup kita mestinya adalah positif, dinamis dan kreatif. Positif berarti bersifat baik, membangun dan bermanfaat. Dinamis artinya tidak monoton, bersemangat, bergairah dan memiliki passion yang menggelora. Kreatif berarti selalu mencari cara-cara baru untuk meningkatkan kualitas hidup baik dengan menambah atau mengurangi, membuat kombinasi yang konfiguratif, atau menggagas sesuatu yang sama sekali baru, orisinal dan unik.
Kita hidup bukan yang sekedar hidup. Tidak cukup hanya bebas dari kekurangan, kebodohan, penyakit dan kemiskinan. Tidak juga hidup yang medioker, berkecukupan atau sedang-sedang saja. Yang kita kejar adalah hidup yang penuh kelimpahan. Kita kaya dengan ucapan syukur dan terima kasih. Kita hidup dengan- meminjam ucapan Andrei Wongso- kekayaan mental yang penuh percaya diri, keberanian, persistensi, tanggung jawab dan integritas tinggi. Dengan kekayaan mental ini, kita terpacu untuk kaya secara sosial dan finansial. Tujuannya adalah supaya semakin banyak orang yang bisa dibantu, diberdayakan untuk menikmati hidup yang berkelimpahan.

Kenapa Tidak Menikah Dan Punya Anak-Anak
Menurut Santrock, seorang ahli psikologi, ada beberapa tugas perkembangan manusia seperti lahir, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, pensiun dan mati. Seperti tugas perkembangan lainnya, menikah merupakan satu titik hidup yang sangat penting dijalani. Walaupun ada umur dan kondisi ideal yang diharapkan, akan tetapi tidak setiap orang dapat memenuhinya. Bila tugas perkembangan itu tidak terlaksana sesuai kondisi ideal, tidak berarti hidup tidak dilanjutkan. Memang pasti ada kekurangan yang dihadapi, tetapi the show must go on.
Masyarakat Indonesia memandang kurang sedap kepada seseorang yang belum menikah. Dianggapnya menikah itu gampang, akan terjadi secara otomatis bila telah mempunyai pendapatan cukup dan telah mencapai umur tertentu. Tidak hanya di tempat kerja, dia akan mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari kalangan keluarga dan perkumpulan sosial lainnya. Kita bisa mengingat iklan yang sempat sangat populer yang diperankan oleh Ringgo Abdul Rahman, seorang artis ternama. Dalam iklan itu, Ringgo mendapat pertanyaan,”Kapan? Kapan?” Ringo menjawab,”Mei”.Tetapi jawaban itu masih terpenggal, yang lengkap adalah Maybe yes, maybe no.
Memang, salah satu alasan kuat untuk menikah adalah alasan sosial. Orang merasa lengkap hidupnya bila telah menikah. Ada beberapa tugas atau peran yang tidak bisa diperankan bila belum menikah, karena selama seseorang belum menikah dianggap sebagai anak-anak. Dianggap belum dewasa. Dalam adat Batak misalnya, seorang yang belum menikah tidak punya hak bicara dalam acara adat. Berkaitan dengan itu, dengan menikah akan membuat pohon silsilah bertambah panjang. Dengan menikah diharapkan akan lahir anak laki dan perempuan. Makin panjang pohon silsilah akan menambah bobot dan gengsi sosial baginya dan juga bagi keluarganya.
Bagi saya pribadi, menikah dan punya anak adalah sebagai media untuk merasakan dan membagikan cinta kasih yang sejati. Pernikahan adalah cinta peleburan secara daging, emosional, spiritual dan finansial.
Berkaitan dengan pernikahan ini ada 2 ayat Alkitab yang sangat berkesan bagi saya. Kitab Kejadian 2: 18 -19 mengatakan seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan menyatu dengan istrinya. Secara spasial dan emosional, seorang laki-laki berpisah dari orang tua. Dia menjadi manusia mandiri, manusia merdeka. Bersama dengan istrinya, dia membentuk keluarga baru dengan struktur, nilai dan tujuan yang sama sekali baru. Dia dimungkinkan untuk melepaskan hal-hal yang dianggap tidak perlu dipertahankan. Sebaliknya dapat memberlakukan ketentuan, kebiasaan dan praktik hidup yang dinilainya lebih cocok dan perlu untuk keluarga barunya.
Dalam Matius 18 : 19 – 20, Tuhan Yesus mengatakan, ”Jika kamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, maka permintaanmu itu akan dikabulkan oleh BapaKu yang di sorga. Sebab di mana ada dua atau tiga orang berkumpul di dalam namaKu, di situ Aku berada bersama-sama dengan mereka.” Dikaitkan dengan pernikahan, seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memutuskan untuk menikah adalah orang yang telah memiliki sejumlah kesepakatan. Kesepakatan-kesepakatan itu dibuat secara sadar semenjak mereka mulai berkenalan, berpacaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Kesepakatan itu menyangkut hal kecil dan terutama hal prinsipil. Kesepakatan juga menyangkut taktik, strategi dan tujuan yang ingin dicapai. Semua itu dikelola dengan hati-hati dan penuh kesungguhan.
Kesepakatan itu akan kuat bila diambil secara terbuka, sukarela dan penuh tanggung jawab dalam balutan cinta. Hal itu hanya akan terjadi bila keduanya telah saling mengenal dan memahami dengan begitu mendalam. Proses pacaran telah membentuk mereka menjadi satu persahabatan sejati. Sehingga wajarlah, bila ada seorang penulis tentang pernikahan mengatakan,”Nikahilah sahabatmu, jangan nikahi kekasihmu.”
Dengan kata lain, keluarga yang dibentuk dengan pernikahan merupakan institusi yang paling ideal untuk membentuk kesepakatan tertinggi. Kesamaan nilai, tujuan, tanggung jawab dan kemauan bekerja sama sangat terjamin. Menurut saya, hanya dengan kondisi demikianlah kehadiran dan perwujudan kuasa ilahi bekerja dengan sangat leluasa. Ini berarti, terjadi penyatuan semua aspek dari seorang laki-laki dan seorang perempuan mendapat tambahan energi luar biasa dari Sang Khalik!
Bila kondisi ideal itu dapat dijalani suatu keluarga baru dengan baik, sangat besar kemungkinan akan melahirkan anak-anak yang mewarisi sifat positif dari kedua orang tuanya. Pengalaman hidup dalam masa pertumbuhan yang dialaminya akan memancar ke luar. Terjadi perbaikan yang dimulai dari satu pernikahan, disertai dengan anak-anak. Dengan jalan demikian, kita akan dapat memperbaiki kualitas masyarakat dan kualitas bangsa kita.