Sabtu, Juli 26, 2008

KEPEMIMPINAN PNB, DI MANA?

Mana lebih mudah mencari pemimpin daripada mencari anggota? Siapakah yang menentukan seseorang menjadi pemimpin atau anggota? Kedua pertanyaan ini sangat penting bagi PNB (Persatuan Naposo Bulung = Pemuda Gereja) sekarang ini.
Sebelum menjadi seorang pengurus (terutama Ketua, Sie Kerohanian dan Sie Koor), seseorang pertama-tama talah menjadi anggota. Masa keanggotaan sebelum menjadi pengurus tidaklah sama untuk setiap orang tergantunbg tingkat kedewasaan orang tersebut. Satu hal yang pasti, tidaklah bijak memilih seorang ketua kalau belum pernah merasakan bagaimana indahnya menjadi anggota.
Masa seseorang menjadi anggota PNB memberi kesempatan baginya untuk mengenal siapakah dirinya di dalam PNB, dan siapakah PNB untuk dirinya dan siapakah PNB untuk gereja, serta siapakah PNB di hadapan Tuhan. Semua itu menyangkut apa yang disebut identitas. Identitas menentukan arah, identitas menetukan kapasitas dan identitas menentukan cara/strategi pelayanan.
Kita bersyukur bahwa PNB HKI (Huria Kristen Indonesia) telah turut memberikan andil dalam perjalanan hidup HKI. Di tiap jemaat PNB selalu berpartisipasi menurut kemampuannya. Demikian juga di tingkat lebih tinggi yaitu resort, daerah dan pusat. Selama ini, semboyan yang dibangga-banggakan sebagian orang adalah PNB sebagai bunga-bunga ni huria. Padahal, bunga-bunga itu adalah penghias, dekorasi. Dipasang kalau ada acara penting. Kalau cerah dan segar dipajang, tetapi kalau layu dan kusam dibuang. Hidup PNB tergantung dari musim. Musim hujan, tumbuh dan berkembang, kadang malah jadi liar. Musim kemarau layu, mati suri dan akhirnya mati betulan.
Identitas PNB pertama-tama seharusnya adalah pelayan, hamba Kristus. Ia mau mengerjakan hal yang paling remeh, paling kecil dan paling hina. Pekerjaan-pekerjaan yang tidak harus dikerjakan tuannya-bukan karena tidak bias atau tidak mau tetapi karena ada pekerjaan yang lebih penting baginya. Misalnya, bukan tidak bias majelis/pendeta untuk menyapu gereja tetapi mereka masih ada tugas lain seperti mempersiapkan khotbah dan berdoa. Contoh lain, bukan tida bias pendeta menjadi ketua PNB atau pelatih koor tetapi mereka perlu sebagai gembala untuk keseluruhan jemaat.
Gereja HKI terkadang menerapkan standar ganda pada PNB. Di satu sisi PNB diharapkan menjadi tulang punggung gereja, maka PNB harus melatih diri agar mandiri. Di sisi lain, PNB dianggap masih muda (karena belaum menikah?) sehingga masih perlu diarahkan dan diatur.
Tarik-menarik di titik dilematis itulah yang sering terjadi dalam perjalanan hidup PNB, termasuk dalam penentuan personil pengurus PNB di tiap tingkatan. Campur tangan itu tidak selalu tampak secara kasat mata. Juga tidak selalu para pejabat gereja yang turun langsung, tetapi melalui orang-orangh tertentu. Suasana itu memang tidak selalu terlihat, atau teraba tetapi anehnya hamper selalu bisa dirasakan.
Berbahagialah orang yang terpilih dalam suasana demikian, karena dia tidak perlu lagi minta restu atau pengakuan. Dia lebih mudah mendapat bantuan. Lebih mudah berkonsultasi, minta petunjuk dan lebih mudah minta fasilitas, dll.
Hanya saja, kondisi seperti itu sangat berbahaya dalam kepemimpinan khususn ya dalam tugas pengambilan keputusan.Kita tidak boleh tidak bertanya siapa yang mengambil keputusan, bagaimana keputusan diambil dan untuk kepentingan siapa keputusan itu?
Badan yang disebut sebagai paniroi PNB bisa membuat pengurus PNB tidak terlatih untuk mandiri. Pengurus PNB dengan mudah bisa berlindung di bawah nama besar paniroi, khususnya apabila tidak berhasil melaksanakan tugas. Demikian juga pengurus dan bahkan anggota PNB cenderung mengadu ke paniroi bila ada masalah di antara mereka. Mereka tidak akan terbiasa menyelesaikan konflik atau permasalahan sesama mereka, tetapi minta campur tangan orang yang lebih tinggi.
Dalam keadaan seperti ini, permasalahan mungkin dianggap selesai. Tidak ada lagi sungut-sungut, kritik atau protes. Tetapi kita layak meragukan. Selesainya suatu persalahan bisa jadi karena enggan atau takut pada majelis, paniroi, pendeta, tetap kerap kali masalah sesungguhnya tidak tersentuh apalagi tuntas.
Pengurus PNB ada untuk melayani anggota PNB. Mereka tidak menjadi bos di sana. Tetapi menjadi pelayan tertinggi. Artinya mereka harus mau mengerjakan pekerjaan yang paling sulit. Tidak boleh lari, atau mengalihkan pada orang lain. Pengurus menjadi pelayan yang formal, yang legitimate-suaranya didengar. Untuk itu mereka sepatutnya menjalankan tugas sesuai dengan panggilannya. (Lamser Aritonang)

Kamis, Juli 17, 2008

HOBBY KE GEREJA?

Bagi sebagian orang gereja adalah tempat yang amat sakral sehingga tidak sembarang orang dan waktu bisa ke sana. Bagi sebagian lain, gereja adalah tempat yang biasa saja, tidak memiliki aturan tertentu untuk memasukinya.Tidak beda jauh dengan rumah kita, atau rumah tetangga. Paling kita cuma minta izin masuk.
Kenapa begitu? Karena orang ke gereja punya macam-macam motivasi. Orang sudah sangat paham kalau orang Kristen pergi kebaktian ke gereja. Kalau dia termasuk orang yang rajin, berarti dia pergi setiap hari Minggu dan setiap ada perayaan
Gerejawi seperti Paskah, Natal, dsb. Dia pergi ke gereja untuk beribadah. Dia melaporkan setiap hal yang dialaminya kepada Allah Tuhan. Dengan ucapan syukur dia sampaikan doa dan pujian. Selanjutnya, dia memohon doa keselamatan, doa kesehatan dan penyertaan supaya diberkati dalam kerja, usaha dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Sebagian lagi pergi ke gereja sebagai satu kegiatan yang amat rutin. Hal ini sangat potensial terjadi justru pada aktivis gereja. Mereka ini ke gereja tidak terbatas pada hari Minggu saja. Ada saja kegiatan lain yang mengharuskannya untuk hadir di gereja. Contohnya, sermon, kebaktian sektor, latihan koor lembaga atau rapat-rapat panitia, dsb. Ada lagi yang datang ke gereja pada hari-hari lain karena membuat gereja sebagai titik pertemuan. Gereja menjadai semacam kantor tidak resmi, tempat untuk singgah, tempat untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin.Akan tetapi, orang-orang jenis ini tidak atau kurang melalukan aktivitas ibadah atau doa secara khusus. Hanya sebutan saja dia pergi ke gereja. Gereja sebagai lokasi, gereja sebagai gedung.
Gereja yang berfungsi sebagai tempat pertemuan ini akan membuat gereja kehilangan sedikit esensinya. Mereka hobby pergi ke gereja tetapi kalau diadakan semacam survey menyangkut perilaku dan spiritualitas sangat diragukan apakah mereka ini masuk kategori yang baik.
Ini harus menjadi semacam pertanyaan kecil bagi aktivis gereja supaya lebih waspada.

Minggu, Juli 06, 2008

ENAKNYA DAPAT TRANSFER

Bila kita mendengar kata transfer, pikiran akan segera mengarah pada bank. Sementara bank identik dengan uang. Sehingga kata transfer otomatis berhubungan dengan uang. Apakah itu salah?
Sama sekali tidak salah! Hanya saja kasihan sekali kalau kita hanya mengaitkan transfer dengan uang. Masih banyak hal yang berhubungan dengan kata ajaib tersebut. Paling tidak ada 3 komponen lain misalnya dunia pendidikan, kerohanian/gereja dan manusia sendiri.
Dalam dunia pendidikan apa yang ditransfer? Uang? Ya, uang memang salah satu hal yang ditransfer bila kita mengingat makin banyak sekolah atau perguruan tinggi yang melayani pembayaran SPP melalui bank. Bayangkan kalau tidak ada teknologi on line di bank. Berapa panjang antrian, berapa lama menunggu serta betapa capeknya proses membayar uang sekolah. Itulah gunanya kemajuan teknologi, memudahkan dan mempercepat proses kerja. Hasilnya juga diharapkan lebih berkualitas.
Tetapi bukan uang yang paling penting ditransfer dalam dunia pendidikan! Objek yang ditransfer itu adalah ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter anak. Itulah tugas yang disandang oleh semua pelaku pendidikan terutama oleh guru. Guru berperan membuat anak yang belum tahu menjadi tahu, memotivasi anak supaya rajin belajar dan membuat PR, mengubah anak yang bodoh menjadi pintar, mengajak anak supaya saling menghargai dengan teman-temannya dan terutama dengan orang tua.
Bagaimana proses itu berjalan? Yang pasti tidak semudah mentransfer uang yang cukup dengan menulis sejumlah uang, dan memberikan nomor rekening. Di situ diperlukan antara lain penguasaan materi pelajaran, keterampilan menjelaskan dari guru, pemahaman guru terhadap kondisi anak didiknya, konsistensi sikap dan perilaku guru , serta ketersediaan fasilitas belajar mengajar.
Di dunia kerohanian/gereja masalah transfer ini agaknya kurang disadari sehingga kurang diperhatikan. Kalau di bank yang ditranfer uang, di dunia yang ditransfer adalah ilmu pengetahuan dan karakter, maka dalam dunia kerohanian yang ditransfer tentu saja adalah iman, pengharapan dan kasih. Kita prihatin bila kebanyakan gereja lebih senang mentransfer perintah, kewajiban-kewajiban (iuran, ucapan syukur, PTB=Persembahan Tetap Bulanan), dan peraturan-peraturan.
Dunia kerohanian/gereja melakukan transfer melalui pengajaran, pelatihan, keteladanan dan ibadah seremonial. Masing-masing kita dapat melihat apakah kita mendapat pengajaran, pelatihan dan teladan yang cukup di gereja. Seperti anak sekolah yang mempunyai kurikulum, perusahaan mempunyai program rekrutmen dan pelatihan, Gereja perlu merumuskan pengajaran dan pelatihan yang sistematis. Misalnya, pengetahuan, keterampilan dan karakter apa yang minimal dimiliki oleh seorang lulusan STT sebelum menjalani masa vikariat. Demikian juga untuk tingkat sintua, pengurus lembaga kategorial, guru sekolah minggu dan naik sidi. Rasanya kita tidak dapat mengandalkan proses pengajaran hanya pada melalui khotbah sekali seminggu melalui langgatan!
Namanya juga transfer, orang yang mentransfer adalah orang yang memiliki apa yang mau ditransfer. Patut diingat bahwa yang melakukan transfer tidak harus yang paling: paling pintar, paling kaya, paling tua, paling banyak anak, paling tinggi pendidikan, paling senior, dsb. Karena biasanya yang dianggap berhak mentransfer hanyalah kalangan pendeta, guru jemaat, sintua dan majelis. Kasihan sekali mereka dituntut untuk memberikan yang belum tentu mereka miliki! Kondisi ini akan menempatkan semua pihak dalam posisi susah. Bukan saja karena susah mencari orang yang serba paling tersebut, tetapi juga tidak mendukung pertumbuhan jemaat. Karena bisa saja ada seseorang yang ahli di bidang keuangan di kantornya, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengurus keuangan jemaat hanya karena dia belum sintua, misalnya.
Bentuk transfer yang lain adalah transfer dalam bentuk manusia. Contohnya, kalangan pendeta menghadapi kemungkinan transfer setiap periode. Contoh lain, anak sekolah yang telah lulus merantau ke Jakarta lalu menjadi anggota di salah satu gereja. Inilah transfer yang paling menguntungkan sepanjang orang tersebut benar-benar berkualitas. Dari segi kerohanian dia punya iman, pengharapan dan kasih. Dia berkarakter bagus dan mau melayani. Apalagi bila dia juga mempunyai pekerjaan yang memungkinkan dia bisa memberikan sumbangan keuangan untuk kebutuhan pelayanan.
Sampai detik ini, belum pernah ditemukan ada orang mendapat transfer uang tetapi mengeluh. Kalaupun mengeluh, mungkin karena transfernya kurang banyak saja jumlah nol di belakang. Demikian juga kiranya kalau transfer ilmu pengetahuan, iman, pengharapan, kasih, karakter dan transfer orang berkualitas terjadi di satu gereja, atau antar gereja HKI. Jangan sampai salah alamat, kita mentransfer ke gereja lain padahal gereja HKI masih sangat membutuhkan.
Kalau transfer berjalan dengan baik dan teratur tentulah mendatangkan dampak positif. Melalu transfer akan terbangun kedewasaan rohani, kepedulian sosial, kecerdasan dan pemerataan kehidupan. Melalui transfer akan tercipta hubungan saling menolong antara pihak-pihak yang saling terlibat. Transfer menghilangkan kecemburuan, menghilangkan kemiskinan serta menghilangkan egoisme dan kesombongan. (Lamser Aritonang, HKI Cawang Cililitan, Editor bulletin En Theos)
Dimuat di bina warga hki, Juni - Juli 2008